Friday, July 15, 2005

Catatan seorang demonstran

Ceritanya nih, hari -hari ini, aku dipenuhi tentang ide mengenai Soe Hok Gie. Mulai dari bukunya yang sudah beredar lagi, dan filmnya yang baru saja mulai main beberapa hari lalu.
Umh, jadi searching segala sesuatu tentang Gie... hehehe panggilan sayang...
Baru baca beberapa cuplikan mengenai Gie, dan hari ini ada kolom tersendiri mengenai Gie di Kompas, dengan ilustrasi gambarnya adalah Nicholas Saputra, yang secara mencengangkan bisa berubah jadi seperti Cina, ups... Nicholas Cina bukan sih?
Lalu, barusan searching di beberapa forum, ttg Gie, yang ditulis sama John Maxwell bahwa Gie, tidak banyak dikenal di Indonesia karena salah satunya adalah Gie itu orang Cina, umh... jadi memulai kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai orang asing.
Yang kjetangkep sama akulah, aneh kalo orang Cina cinta sama Indonesia... hehehehe kasar sekali ya...

Tapi topik ini sesuai sekali ma aku, beberapa hari ini, aku lagi pusing karena secara tiba-tiba aku diminta untuk presenting SBKRI dari ayahku... baru aku ingat kalo bapakku juga Cina, tapi aku gak sadar juga... karena aku lahir di Surabaya, ibuku suku jawa, yg bener2 jawa, bahkan menurutku, kerangka tubuhku tuh postur Homo Soloensis bgt deh... tapi ketika aku ingin buat paspor untuk warga negara Indonesia, aku dianggap bukan org Indonesia, karena masih harus mengajukan SBKRI.

Iya, aku tahu kalau hukum Indonesia itu membuat anak ikut warga negara ayahnya, tapi... aku tidak sadar kalau aku termasuk itu, karena aku gak sadar, sebab ayahku pun ternyata lebih Indonesia dibanding yg lain.
Rumit dan aneh... kalo aku dianggap warga negara asing, katakanlah Cina, trus apa kebanggaanku sebagai warga negara Cina? aku gak bisa bahasa Cina, bahkan hitungan angkanya pun aku cuma tahu cepek dan nopek, yah... dari bahasa gaul aku juga tahu ada goceng, seceng, noceng. standar banget. Aku berbahasa Indonesia, dan bercita-cita untuk membuat novel dalam bahasa Indonesia, yang baik dan benar, tidak banyak bahasa gaul seperti yang kugunakan jika 'ngedumel'.

Yah... aku bisa apalagi kalau begini, mana katanya dulu SBKRI tak berlaku lagi bagi warga keturunan Cina (bagiku setengah darah Cina - bukan berkebudayaan Cina) yang sudah punya akte kelahiran dan ka te pe Indonesia, tak perlu lagi SBKRI ayah atau buyutnya... ah entahlah...

Seandainya bapakku bukan Cina.

(lhoh... dari Hok Gie kok jadi ke bapakku??!!)

Sunday, July 10, 2005

Sunday for 'Family'

Hari ini tuh... benar-benar hari keluarga.

Siang tadi, aku makan siang ama semua temen serumah karena ada satu temen serumah yang ultah. Trus abis itu, aku ketemu temen se-kos yg dulu, kami dulu pernah serumah selama 4 tahun... kebayang dong... ramenya kaya apa... trus bareng temen2 lama ini, kami jalan ke reumah eks bapak kos, trus foto-foto di jonas trus nongkrong makan jagung bakar di dago... wah... bener-bener hari 'keluarga'...

Dan, hari ini, aku tuh yang puas banget... banyak ketawa, banyak sharing... padahal... mereka yg berkumpul sama aku hari ini, gak ada hubungan darah sama sekali... tapi justru, mereka banyak mempengaruhi pola berpikir aku... umh... gini, aku kan anak satu-satunya... dan ayahku sudah meninggal, otomatis yang jadi keluarga aku cuma ibuku... karena cuma punya ibu, dan beliau selalu menekankan bahwa apapun yang beliau lakukan adalah untukku... dan aku pun jadi manusia paling egois, karena merasa besar kepala, toh... aku masih punya ibu kalaupun tak ada yang mau berteman denganku.
Namun, merantau dan bertemu 'keluarga' baruku, membuat sifat egois, yang mau menang sendiri sedikit terkikis (cuma sedikit... hehehehe) paling nggak, sekarang aku adalah orang yg mau mendengar apa kata orang lain...

Jadi intinya, aku bersyukur banget masih bisa ketawa hari ini.... (hehehehe garink ya...)

Friday, July 08, 2005

Cara Membuat Manisan Lidah Buaya

Just after lunch...
Seperti biasa, topik makan siang adalah... makanan juga : )Hari ini, ada yang bawa manisan Lidah Buaya. Wah, terjadi sedikit 'kehebohan'... ”mauuuu dong...”“wah, awas... nanti jadi buaya darat...”“wah... pahit nggak...”“ umh...kayanya enak nih...”“ah... seger juga ya...kok bau lidah buayanya bisa ilang yah...”Ujung-ujungnya... sampailah kepada pertanyaan, “emang manisan lidah buaya gini, gimana bikinnya” (ini aku lo yang bertanya...)Kemudian, keluarlah jurus2 rahasia membuat manisan Lidah buaya, begini:-
1. Pertama, ambil daging lidah buaya, pisahkan dari kulitnya.
2. Cuci bersih, berkali-kali hingga lendir hilang
3. Rendam di air garam semalaman
4. Cuci lagi berulang -ulang
5. Didihkan air, setelah mendidih masukkan daging lidah buaya yang sudah dipotong-potong. 6. Masukkan sebentar saja, lalu segera angkat.
7. Jadi deh... manisan lidah buaya siap dinikmati bersama air sirop coopandan atau lychee... (dan yang paling enak dan segar adalah air siropnya...)

Lalu, tiba-tiba saja terlintas di benakku, impian masa lalu yang muncul kembali: Jika saja aku punya kafe, mungkin saja aku akan mencoba – coba dan menyajikannya di kafe...Hiks... impian masa lalu, dulu... aku selalu berpikir untuk lebih baik punya kafe saja... a small & cozy place...Hanya saja, impian itu terlupakan, karena berada pada rak yang paling bawah... dan rutinitas yang membunuh angan – angan...

Pernikahan

Semalam aku berbicara panjang lebar dengan ibu temanku, Tante Melissa. Kami menceritakan seluk beluk, lika-liku pernikahan, panjang-lebar.Salah satunya ada satu cerita tentang seorang menantu wanita yang hidup bahagia dalam sangkar emas keluarga suaminya, namun enam tahun kemudian mereka bercerai justru karena hal itu. Si wanita, Elisabeth, merasa mertuanya dan suaminya Freddy terlalu over protektif padanya dan pada satu-satunya putri mereka, Ester."Dulu pernah, suatu kali, Lisa bawa si Ester ke acara kantornya Lisa, meeting tahunan di Tanjung Lesung, tapi Freddy tidak ikut. Eh, kebetulan Ester kejeduk waktu berenang & digiti nyamuk, ketika Freedy dikasih tau hal itu, tau apa reaksinya? Dia marah besar, dan bilang ke Lisa, kenapa tidak bawa trombophob di perlengkapan P3K?" Tante Mel, diam dan mengambil napas sejenak. Dan memberiku kesempatan untuk mencerna sepotong cerita yang akan berlanjut itu. "Apa kamu terbayang, untuk hal yang sepele seperti itu, ketika sampai rumah mereka bisa berantem besar?!" tanya Tante Mel kemudian. "Akhirnya, Lisa memutuskan untuk berpisah dari suaminya, semua masalah terakumulasi. Soal perhatian yang berlebihan, hingga ke masalah finansial. Sepertinya keluarga mertuanya kaya, tapi masa - masa kejayaan itu sudah lampau dan problemnya mereka masih hidup di masa lalu... masih ingin kelihatan mewah, mempertahankan gaya hidup, maka tinggalah si menantu perempuan yang susah payah demi menyenangkan mertua yang sudah 'menjaga' dengan sangat perhatian. Tapi memang manusia ada batasnya." Tante Mel terlihat sedikit emosional, aku maklum, Lisa memang part of her life jadi wajar kalau seolah-olah Tante Mel sendiri yang mengalami hal itu.
"Pernah suatu ketika Lisa, di tengah salah satu keputusasaannya bertanya pada Tante, memangnya, mana yang benar sih, aku yang dibesarkan dengan sikap keluarga yang cuek - cuek saja meskipun keras dan jadilah aku, atau Freddy yang terlalu berlimpah perhatian dan jadilah Freddy, dan sekarang Ester kami besarkan dengan cara seperti ini, cara mana yang benar?. Terus terang, Tante sedih waktu Lisa bertanya seperti itu, yah... sedikit nelongso kok jadinya begini. Orangtua hanya ingin, anak-anaknya bahagia. That's it!. Kami tidak tahu mana yang benar mengenai cara membesarkan anak, kami hanya berusaha untuk berbuat yang terbaik. Mungkin memang, karakter orang tua kami dulu ikut mempengaruhi cara kami membesarkan anak-anak kami. Its already in our blood to have attitude like this."
Mendengar & berbicara dengan Tante Mel, secara mengejutkan, aku teringat buku harianku sekitar 5 tahun silam, ketika itu aku baru beberapa bulan pacaran dengan Ken, dan kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.
Aku menulis begini:-Aku dan Ken adalah dua pribadi yang dibesarkan dengan dua kebudayaan yang sangat jauh berbeda, mungkin terlalu kompleks, tapi kalo dibilang sekedar kebiasaan atau sekedar cara hidup... itu terlalu sederhana, ya memang begitulah. Kami memiliki pola pikir yang sangat bertolak belakang bahkan dalam menyikapi problematika kehidupan yang kecil dan remeh. Aku yang besar dengan orangtua tunggal, hanya seorang Ibu yang memutuskan unuk tidak menikah ketika suaminya meninggal, dalam usia yang sangat muda Ibu menjadi Ibu sekaligus Ayah sekaligus pencari nafkah keluarga. Aku anak tunggal yang memiliki kebebasan penuh untuk memutuskan segala sesuatu, karena memang sudah dibiasakan begitu sejak kecil. Ibu ada di rumah hanya pagi dan malam, seharian beliau ada di luar untuk bekerja, dan sejak aku bisa mengingat, seingatku, aku selalu melakukan apapun sendiri. Pembantu, hanya memasak dan mencuci, tugas yang tidak bisa dilakukan anak unur lima tahun. Aku punya jadwal yang dibuat oleh Ibu dan kuturuti dengan kepatuhan yang menakjubkan untuk anak seusiaku, bahkan sampai sekarang aku sering berpikir... aku hebat juga ya : ) Aku tumbuh menjadi sangat mandiri dan egois. Sedangkan Ken, anak pertama dari lima bersaudara, meski sejak SMP kehilangan Ayah dan merubah dirinya menjadi penanggungjawab keluarga, tapi Ken bukan serta merta menjadi orang yang bisa memutuskan segala sesuatunya tanpa kerumitan. Njlimet. Dia terbiasa meminta pendapat, terbiasa memikirkan dulu adik-adik dan Ibunya, terbiasa ngalah. Dia jadi lupa bagaimana menikmati hidup. Kami selalu punya pendapat yang berseberangan tentang keluarga. Termasuk dengan cara pernikahan. Jadi apa yang bisa mempertemukan kami, jika kebudayaan kami berbeda, tidak ada sedikitpun kesamaan yang menjembatani. Dan setelah berusaha mencari titik temu, kami tidak bisa menemukannya? rumus apakah yang dapat mengeliminasi perbedaan - perbedaan kami? Maka, memang lebih baik kami berspisah.
Jadi, setelah bercakap-cakap dengan Tante Mel, aku membaca lagi uraian yang rumit di buku harianku itu. Lucunya, aku ingat betul saat itu aku sangat ingin berisah dengan Ken karena 'kebudayaan' itu tadi, dan ternyata sampai hari ini, lebih dari lima tahun kemudian aku masih bersama Ken.
Jadi, rumus apakah yang dapat mengeliminasi perbedaan - perbedaan kami? jawabnya cinta. Tapi apakah cinta saja cukup untuk menjawab seribu pertanyaan lain yang membayangi pernikahan kami yang akan berlangsung beberapa bulan lagi?
Terus terang, aku sangat takut & khawatir dengan rencana pernikahan ini.