Thursday, October 28, 2010

Membunuh Nurani

Salah satu teman saya di kos dulu, anaknya baeeeeeek banget, udah gitu polos pulak, gak ada intrik *halah* sama sekali. Kadang saya suka gemes sama dia, soalnya dia jadi gak pakai logika kalau mau nolong orang.


Pernah suatu saat, dia menerima seorang kenalan baru, untuk menginap di kos kami. Buat saya, ini gak masuk akal, kan kenalan baru tadi sore di Gramedia, kok dikasih nginep sih di kos?! Tentunya saya langsung menyuarakan ketidaksetujuan saya, "lo kan gak kenal dia? Kok dikasih sih neng?"
"Kan dia cewek, Cep, gak pa-pa lagi...kasian...mana kurus lagi"



Buat saya, cewek kurus dan menyedihkan, bukan urusan kami, yang paling penting: kami gak kenal! Tapi temen saya yang baik itu keukeuh menampung si cewek ini, "kasian Cep, dua hari aja dia nginepnya"


Saya tetap tidak setuju, tapi dia juga punya hak untuk melakukan apa aja toh?
Si cewek ini akhirnya nginep dua hari di kos kami, dan cerita ditutup dengan sepatu saya hilang, baju temen saya juga. Bukan benda yang mahal yang hilang, tapi gondoknya lumayan bikin sebel dua hari :)) tapi yang penting, teman saya belajar bahwa baik itu juga harus diaplikasikan dengan nalar. Sebenarnya ketakutan saya bukan barang yang hilang, tapi bagaimana kalo dia itu ternyata pembunuh berdarah dingin *kebanyakan nonton film* hahaha tapi benar kan, mati konyol namanya kalau begitu :))


Kami melupakan cerita itu, hingga suatu saat saya berjumpa si cewek kenalan ini di Gereja. Dia datang bersama kawan yang cukup saya hormati. Kawan saya ini agak terkejut ketika saya mengenali cewek ini dan bertanya di mana saya mengenalnya. Lucunya, ternyata kawan saya mengenal si cewek ini di sebuah food court!
Saya juga menceritakan peristiwa di kos saya kepada kawan saya ini, supaya kawan saya berjaga-jaga.


Dua hari kemudian, pagi-pagi kawan saya ini menelpon supaya saya dan teman kos saya datang ke rumahnya karena si cewek kedapatan mencuri.
Menyingkat cerita, si cewek ini rupanya sudah sering melakukan pencurian dari kos ke kos.
Kalau bahasa kawan saya, dia melatih nuraninya untuk mati pelan-pelan.



Manusia hakikatnya dilahirkan dengan semua unsur. Baik dan jahat. Namun tidak ada yang dilahirkan hanya jahat, licik...pencuri...penipu...tak berperasaan. Semuanya dilengkapi kebaikan nurani untuk mengendalikan dirinya.


Dalam kasus si cewek ini, pencurian pertama, pastilah nuraninya teriak-teriak, dan pasti ada sesal. Pencurian kedua, ia berhasil membuat si nurani hanya protes lemah. Maka pencurian-pencurian selanjutnya makin melumpuhkan kemampuan nurani dalam mengendalikan dirinya. Ia sudah membunuh nuraninya.


Sama halnya, dengan beberapa wakil rakyat atau siapapun lah yang menjadi pemimpin saat ini. Saya yakin, mereka juga punya hati nurani yang berteriak soal rasa kemanusiaan ketika melihat rakyat yang dicuranginya. Tapi ya itu, mereka menulikan telinga, mengabaikan teriakan nuraninya.


:(


Hati nurani; rasa kemanusiaan yang normalnya, tidak tega untuk menyakiti orang lain, dilatih untuk bungkam. Mati karena kebiasaan.


Menyedihkan.


Saya gemas, tapi sekaligus susah untuk menghujat; karena menurut saya, menjadi manusia tanpa rasa kemanusiaan, lebih menyedihkan dibandingkan rasa sakit hati karena dihujat. Eh, tanpa hati, mungkin malah tak bisa merasa sakit lagi.


Sebab, pada akhirnya...kepuasan hidup kita adalah menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia. Memaksimalkan rasa; esensi manusia. Kalau tidak demikian, untuk apa hidup? 


Tapi kemudian toh saya terpikir, mungkin memang mereka tak baik buat saya, tapi untuk keluarganya, mereka baik. Baik kan memang relatif :P


Tapi...tapi... eh tapi...tapi...


Embuh ah, better I go to sleep wae.

No comments: