Wednesday, October 13, 2010

(hanya) Sejauh Langit Paris

Baru jam delapan pagi waktu Jakarta, baru duabelas jam yang lalu kita bertemu disana.

Hi!”
Hi!!”
Surprise to meet you here, where are you going?”
“Sama, aku juga surprise banget! Aku mau ke Paris, kamu?” aku.
“Amsterdam, damnWhat a surprise ya… udah berapa lama ya kita nggak ketemu?”

Sudah lebih dari tiga tahun, jawabku tak terucap, aku kehilangan kata-kata, terkejut ketika hidup memberikan kejutan yang indah.

“Ada kalau sekitar tiga tahunan ya?”
“Begitulah, so, kamu ngapain di Amsterdam?”
Short CourseFilm & TV Production, kamu ngapain di Paris? Jalan-jalan?”
Non monsieur, travaille, kerja bo!”
Great! Aku juga mau ke Paris, setelah settle di Amsterdam”
“Oh ya? Emangnya berapa lama kamu di Amsterdam?”
“Cuma enam bulanan, jadi mungkin aku akan memanfaatkan waktu untuk jalan-jalan ke Jerman atau Perancis, yah… ke kota yang bisa ditempuh dengan mobil saja, kamu berapa lama di Paris?”
“Hanya seminggu, emang, kapan kamu mau ke Paris?”
“Itu tadi, aku mau settle dulu di Amsterdam, mungkin dua minggu setelah sampai Amsterdam, anyway, kerjaan kamu apa sih? Kamu menghilang begitu aja…duh, kemana aja sih?”
“Ah… aku kerja di pabrik, pabrik tekstil, I am designer, nggak bisa cari kerja yang lain, kamu?”
“Aku sedang senang menekuni produksi tv, masih jobless tapi bahagia”
Jobless tapi bisa short course! Itu sih pasti bahagia…” aku tahu kamu tidak menceritakan semuanya, tidak apa, aku sudah tahu apa yang sedang kamu lakukan sekarang, yang aku tidak tahu kita akan bertemu di bandara.
“Ya gitulah, ke Eropa kita sekarang” kamu kemudian tertawa, manisnya.





Bosannya aku sekarang, kebanyakan penumpang SQ 334 sedang tidur, lampu-lampu di dalam pesawat pun masih dimatikan. Aku membuka tutup jendela pesawat, masih gelap, tentu saja sekarang masih dini hari di posisi pesawat saat ini. Banyak bintang. Wow.

Di kejauhan tampak berkelip lampu pesawat yang sedang melintas, berpapasan dengan pesawat yang kutumpangi, apakah itu kamu? Aku tersenyum, bodoh, makiku dalam hati, tentu saja bukan. Memangnya jalur kita berpapasan?! Hah… tapi aku selalu bodoh jika berkaitan dengan kamu. Aku hanya membayangkan, saat ini kamu juga sedang menatap langit dan bintang yang sama. Jika begitu, biar kubisikkan pada bintang-bintang itu, aku masih mengharapkanmu, aku tidak keberatan jika bintang-bintang itu kemudian mengatakannya padamu, meski itu sebenarnya rahasia, sebab aku memang ingin kamu tahu rahasiaku. 

Tapi, mungkin bintang-bintang itu tidak bisa mengatakannya padamu, karena kamu tidak membuka jendela, tidak menatap langit dan bintang yang sama, mungkin kamu sedang tidur, atau menonton film atau malah, kamu duduk tidak dekat dengan jendela. Di tengah? Atau di pinggir, aysel? Ah, aku jadi bertanya-tanya, siapa ya yang beruntung duduk di sebelahmu? Seorang wanita? Atau pria? Sudahkan ia lanjut usia? Atau masih muda? Apakah kalian bercakap-cakap? Atau dia tidur sepanjang perjalanan seperti wanita yang duduk di sebelahku. Atau dia malah asyik menonton film secara marathon seperti pria yang duduk di sebelah wanita yang duduk di sebelahku. Atau dia sedang asyik dengan pikirannya, mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan, berharap cerita terjadi seperti dengan cerita yang sedang ditulisnya.

“Jadi, kamu sedang menulis apa?”
“Cinta yang terpendam” kataku.
Kamu tertawa, manis. Kamu selalu manis jika tertawa.
“Kenapa kamu tertawa?” aku bertanya, meski aku selalu suka kamu jika sedang tertawa.
What a romantic guy!”
“Ah, kenapa? Romantisme cinta kan selalu menjadi topik yang abadi dalam cerita-cerita”
Kamu tertawa lagi. Lagi-lagi, aku harus menekan mulutku untuk tidak berkata, kamu manis.
“Ya memang, tapi aku tidak mengharapkan kamu menghasilkan cerita cinta yang terpendam”
“Kenapa?”
“Terlalu cengeng buatmu”
“Nggak boleh?”
“Sebaiknya memang nggak boleh, sebaiknya jangan memendam cinta terlalu sedih dan tragis”
“Tapi juga puitis”
“Ah, kenapa cinta mesti dipendam, kalau cinta ya berjuanglah untuk mendapat cinta”

Iya, kenapa mesti dipendam? Kenapa aku tidak bisa memperjuangkan cintaku padamu? Apa alasanku memendam cinta? Apa mungkin aku hanya takut akan remuk redam?
Aku berhenti sejenak dari saat itu, kutengok lagi keluar jendela, di batas cakrawala sana langit mulai terang, mungkin itu matahari yang terbit di langit Asia Tengah, tapi masih gelap di langitku saat ini, mungkin di langitmu juga ya…

Badanku mulai pegal-pegal setelah hampir duabelas jam duduk di posisi nyempil ini. Aku pasrah saja, menggeliat pelan, meregangkan otot, tapi aku melakukannya sangat pelan, takut mengganggu wanita yang duduk di sebelahku, dia tidur semenjak naik dari Singapore tadi. Salahku juga, tidakcheck in lewat internet dulu, tadi sebelum berangkat ke bandara. Tapi paling nggak, aku tidak duduk di tengah, aku menguasai jendela, bisa menjelajahi cakrawala dengan pandangan mata kapan saja aku mau, berharap bertemu kamu. 

No Hay Igual dari Nelly Furtado berkumandang dari audio program yang kupilih, ritme yang asyik, cukup menghiburku, setelah ini aku akan membeli album Nelly furtado, hah, aku selalu saja terlambat untuk urusan trend seperti ini… yah, paling tidak lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

“Terlambat Ken, dia sudah pergi” katamu sedih. Aku juga merasakannya.
“Kamu bilang, cinta jangan dipendam, kita harus berjuang untuk cinta”
“Ini bukan cinta yang terpendam, ini cinta yang terbuang”
Aku juga merasa terbuang.
“Aku tidak mau mengemis cinta kan, aku pejuang cinta bukan pengemis cinta”
Aku kini merasa terhina, aku akan mengemis padamu jika itu bisa membuatku mendapatkan cintamu.
“Suatu saat, aku akan menemukan cinta yang layak untuk kuperjuangkan”
“Cinta yang abadi?”
“Satu-satunya yang abadi dari manusia hanya harga diri”
“Jadi, kamu pilih yang mana? Harga diri?”
“Sebaiknya begitu”

Aku bercita-cita jadi orang kaya, super-super-super kaya, supaya aku bisa membeli cintamu. Tapi kamu cuma punya harga diri, tidak cinta untukku.
Masih ada sekitar dua jam sebelum kami mendarat di Aeroport Charles de Gaulle. Lampu pesawat mulai dinyalakan, karena sebentar lagi sarapan akan dihidangkan. Kubuka buku menu, akan memudahkan pramugari yang cantik itu jika aku bisa memilih makananku dengan cepat. Mmmh.

breakfast from singapore to paris
fruit
Fruit appetizer
light starter
Yoghurt
wholesome beginnings
Braised ee-fu noodles with
chicken and leafy green
or
cheese omelette with veal
sausage on a bed of warm salad
of tomato, mushrooms, pea and
potatoes
from the bakery
Assorted breakfast rolls
Butter – Fruit preserve
hot beverages
Coffee – Tea

Mmh. Noodles sepertinya enak juga. Makanan mulai dihangatkan, aku tahu, karena baunya mulai tercium. Aku jadi lapar. Wow, ajaibnya saraf otak kita. Ketika mata membaca menu maka saraf mulai mengirim sinyal ke otak untuk mulai membayangkan makanan lalu hidung membaui makanan, dan lebih cepat daripada oksigen masuk ke paru-paru, saraf sudah mengirim s.o.s ke otak untuk memproduksi liur dan mengirim sinyal bahwa perut minta diisi. Aku lapar karena membaca dan membaui. 

Dan ajaibnya lagi, secepat aku membaca noodles secepat itu juga aku terlempar bersamamu lagi.
“Mie yamin babat yang di Pasteur katanya enak juga loh”
“Kata siapa?”
“Lily”
“Ah, aku nggak yakin”
“Cobain yuk?!”
“Males ah, lagian aku nggak yakin enak”
“Kenapa?”
“Kamu tahu Lily, dia makan asal ada garam dia bilang enak kan”
“Ayolah, kita cobain, nothing to lose, kalo nggak enak ya nggak usah makan disitu lagi”
“Males ah, Pasteur kan muter jalannya, lagian macet”
“Ah, dimana semangat perjuangan yamin babat?!”

Aku mulai ketularan kamu yang tergila-gila pada mie yamin babat. Bandung’s Adventure, demikian kamu menamakan perburuan untuk menemukan mie yamin babat terenak se-kota Bandung, dan jumlahnya cukup banyak, karena memang mie yamin babat bagaimanapun mengolahnya akan selalu enak buat kita. Dan tragisnya, aku mengidentifikasikan semua mie dengan mie yamin babat, aku selalu mencari kaitannya dengan kamu.

Terang mulai meluas di cakrawala. Aku sudah menyelesaikan sarapan, bekasnya pun sudah selesai dibersihkan. Pramugari yang cantik-cantik itu sekarang sedang mengedarkan barang-barang bebas bea, mulai dari perfume, accessories, sampai gadget terbaru. Di pesawatmu sekarang, apakah sedang terjadi hal yang sama? Pramugari yang cantik berkeliling menawarkan barang bebas bea. Apakah kamu sedang memperhatikan pramugarinya? 

Kamu kan paling suka dengan yang cantik.

“Namanya Laila, dia cantik sekali, nanti aku kenalkan”
Aku tidak mau, kataku tapi tak terucap, membeku ketika melihat senyummu yang manis dan mata yang berbinar-binar penuh asmara.
“Aku sungguh beruntung mengenalnya, dan aku tidak keberatan kakalau kamu berkenalan juga dengannya”
Aku masih diam.
“Sungguh Ken, aku kasmaran. She’s lovely, she does! Kamu lihat dia nanti ya, pasti kamu juga akan jatuh cinta dengannya”
Aku sudah jatuh cinta padamu.
“Ken, kamu boleh saja jatuh cinta padanya tapi jangan dekati dia ya, sebab dia milikku seorang”
Aku menginginkanmu jadi milikku.
“Aku bahagia, I’m really happy! Eh, aku sudah memutuskan, aku sudah memilih, ini cinta yang akan kuperjuangkan, Laila benar-benar cocok untuk diperjuangkan”
Kamu sudah kupilih, ah, bagaimana kamu tahu kalau Laila cocok untukmu? Kamu cocok untukku, aku memilih kamu.
“Ada chemistry di antara kami, it’s just a click when we meet each other, Laila juga bilang begitu, ah Ken…be happy for me dong…”

Aku tidak bisa bahagia karena kamu sudah memilih Laila. Jika aku berbahagia dengan memiliki kewanitaan pada fisikku, apakah kamu akan memilihku? Aku ingin menjadi wanita-mu, tapi kini aku tidak berbahagia dalam tubuh pria.

Maaf, aku tidak bisa berbahagia bersamamu.

Dalam cinta yang terpendam selalu ada hati yang remuk redam, dalam cinta yang terpendam aku ingin pergi dalam diam, dan hanya mengenang kamu pernah ada di masa silam.
Namun bagiku, cinta yang terpendam malah membara dalam sekam. Bertahun menyala, tak pernah padam.
Hingga tujuh belas jam yang lalu, aku masih seperti dihantam palu, ketika bertemu lagi denganmu, hidup penuh kejutan. Mungkin aku masih akan bertemu kamu lagi, tak perduli kemana pun aku akan lari.
Sepuluh menit lagi pesawat mendarat di Aeroport Charles de Gaulle. Langit Paris masih gelap meski sudah jam tujuh pagi, tak apa, sebab sekarang ini summer, matahari terlambat terbit dan akan tenggelam lebih lama pula.

Matahariku belum terbit, tak apa, aku akan menunggu. Menunggu dan berharap hidup akan memberikan kejutan yang lain.

Ah, cuma sejauh langit Paris aku bisa mengingatmu.

Re-post dari blog yang ini, ditulis pada summer 2006 di atas SQ dari Singapore menuju Paris, pas gak bisa tidur :D

2 comments:

Unknown said...

oww..oww... ;D
jadi ingat pria idola itu...mmmm...

ruthwijaya said...

eh? hahaha...
oh iya, ini pas harusnya gw ketemuan tapi gak bisa, lupa gw kenpa... rasanya krn flight-nya gw duluan gitu deh...