Thursday, October 14, 2010

Jazzy Fusion

“Jadi kamu suka musik jazz?”
“Yup”
“What kind of jazz? Swing? Funk? atau pop jazz?”
“Oh… apa aja sih, emh, harus spesifik ya?”
“Sebaiknya”
“Kenapa?”
“Ya sebaiknya spesifik sih… biar kamu bisa lebih detail belajar tentang musik itu, ya cari tahu sejarahnya, musisi-musisinya… dijamin deh, stelah itu pasti kamu akan lebih menikmanti musik yang kamu sukai”


Ah, terlalu rumit, too complicated for a simple person like me. Tidak bisakah aku hanya mendengarkan musik, menikmatinya tanpa pengetahuan apapun? Maksudku, tanpa aku tahu sejarahnya, tanpa aku tahu musisinya? Aku hanya sebagai penikmat biasa, orang awam. Tapi bantahan itu tidak keluar dari mulutku, sudahlah biarkan saja bibir cantik itu yang menang, jadi aku diam saja. Ia terlalu cantik untuk diajak berdebat, sayang kalau bibirnya yang indah itu berkata-kata tentang hal-hal yang nggak penting , seperti misalnya perdebatan panjang tentang jenis-jenis muisk jazz, sebab aku lebih menginginkan bibir yang cantik itu berkata-kata tentang cinta, bahkan sejak aku bertemu pertama kali dengannya.



Well, siapa yang tidak? Ia sangat mempesona. Jika saat itu kalian ada di posisiku dan melihatnya untuk pertama kali, pasti kalian juga akan seketika itu mengaguminya, mencintainya.


Aku sedang duduk menunggu di sofa dekat jendela yang berembun karena hujan di luar sana, sambil menunggu pesanan makan siangku diantarkan. Tak banyak pengunjung waktu itu di restoran yang memiliki interior yang modern namun dengan menu yang tradisional ini. Jakarta yang tetap panas meski sedang hujan. Semua rasa hari itu adalah dualisme, termasuk juga mood-ku yang merasa bosan sekaligus bergairah, entah karena apa, yang jelas, aku seperti sedang ada di titik tengah sebuah persimpangan, dan belum memutuskan akan kemana. Modern. Tradisional. Panas. Hujan. Bosan. Bergairah. Dan di saat itulah aku melihatnya untuk pertama kali, saat ia bergegas masuk ke dalam restoran menghindari tempias air hujan yang menciprati tubuhnya. Mataku seperti tersedot magnet untuk melihatnya, ia yang indah dan berkilau seperti pelangi, cantik. Indah. Senyumnya mengembang ketika pelayan menyapanya, lalu ia mengedarkan matanya ke seluruh ruangan yang lenggang dan akulah satu-satunya pengunjung yang beruntung dari segelintir pengunujung yang ada, ketika ia memilih meja di samping mejaku dan duduk di kursi yang berseberangan denganku. Aku bisa melumat kecantikannya, keindahannya dengan mataku secara diam-diam. Semenit. Dua menit. Tiga menit. Empat menit. Lima menit. Mata cantik itu mengerjap-ngerjap indah saat ia mengungkapkan ketertarikannya atas menu yang direkomendasikan pelayan. Bibirnya bergerak-gerak indah saat ia mengatakan pesanannya. Jari-jarinya lentik menari ketika sembari menunggu pesanan ia mengeluarkan handphone dan menulis sms. Dan wajahnya berseri-seri cantik saat ia membaca balasannya. Dan mata kami kemudian bertemu, ia menatap langsung ke mataku yang sudah bermenit-menit menikmatinya diam-diam. Aku terhisap pesonanya, ke dalam matanya yang jernih, lalu seperti slow motion, ia mengembangkan bibirnya dengan keluwesan untuk tersenyum. Senyum tercantik yang pernah diberikan seorang gadis padaku. Aku gagu dalam sepersekian detik, namun akhirnya berhasil menarik kedua ujung bibirku dengan canggung. Senyum yang canggung yang bertemu dengan senyum yang luwes dan cantik. Seperti dalam mimpi, saat kemudian ia menyapaku, “hi…”


“Eh… hi”


Maka, hari itu adalah benar-benar hari keberuntunganku saat kami akhirnya berkenalan dan kemudian bertukar kartu nama. Saat membaca kartu namaku ia memekik antusias, “wow! Creative Director? Astaga, aku punya teman yang juga kerja sebagai CD, duh dia teman yang paling seru… kamu juga pasti seru ya… ya ampun… seneng banget aku bisa kenalan satu lagi dengan seorang ‘pencipta’ seperti kamu.


Aku tersenyum, tentu saja senyum yang masih canggung.


“Aduh… mana biro advertising kamu terkenal gini… wah kamu pasti kreatif banget ya…”
“Emh… nggak juga”
“Ah masa? Kartu namanya aja keren gini, apalagi iklan-iklan yang kamu buat ya?”
“Emh… sebenernya aku cuma bikin kartu nama aja kok, nggak bikin iklan”
Ia terbahak, “kamu lucu! Senang dapat teman baru yang lucu seperti kamu”


Teman? Bisakah aku jadi teman yang dicintai dan mencintai? Aku sudah menginginkannya berkata cinta padaku saat itu. Tapi aku hanyalah teman baru yang lucu. Hanya teman yang cocok untuk diajak ngerumpi, belanja-belanja bukan tipe teman yang bisa berubah menjadi kekasih. Meski kami punya banyak kecocokan dan kesamaan.


Kami sama-sama menyukai musik, yah… dia memang lebih spesifik, dia menyukai swing jazz yang easy listening sedangkan aku, hanya orang awam yang menikmati musik tanpa pernah tahu apa itu jenisnya.


Dia pecinta buku. I am worm book.


Aku pemimpi, dia juga.


Soal makanan, kami sehati.


Dan aku sedang mengharap cinta, dia juga.


Aku mengharapkannya, sedang ia juga sedang berharap pada seseorang yang bukan aku. Seorang pujaan yang hanya kudengar lewat cerita, bahwa ia selalu membuatnya tertawa, selalu memberikan kejutan padanya, selalu menemani di saat-saat sulit dan selalu mengerti akan dirinya.


Jika hanya itu yang jadi pertimbangannya menjadikan pria itu sebagai pujaannya, mengapa ia tak bisa menjadikanku sebagai pujaannya juga? Apalagi kami juga punya banyak kesamaan.


Aku sering membuatnya tertawa. “Sebenernya, aku cuma bikin kartu nama…” kataku dan ia terbahak.


Aku juga sering memberinya kejutan yang menyenangkan. “Ya ampun… ini benar-benar surprise, thanks a lot ya” katanya girang, saat aku memberikan setumpuk CD kompilasi berisi lagu-lagu kesukaannya.


Aku jugalah yang pertama kali bergegas ke kos-nya ketika tahu ia sakit. Aku yang menjaganya sepanjang malam itu.


Dan tidak ada orang lain yang ada di sampingnya ketika ia menangis tersedu, patah hati. Hanya ada aku yang memahami kesedihan dan sakit yang dirasakannya.


Namun sayangnya, tak peduli bagaimanapun besarnya harapanku padadanya, sehingga aku aku sanggup melakukan apapun, merelakan apa saja untuk mendengarnya berkata cinta padaku, baginya, aku cuma seorang teman. Teman yang sama sekali tak punya keberanian untuk berkata, “aku hancur lebur” saat mendengar ia akan menikah.


“Kamu orang pertama yang aku kasih tau, sebab kamu teman terbaikku, kamu pasti bahagia juga kan aku akhirnya menikah” katanya.


Jadi, ia berharap aku bahagia mendengar ia akan menikah, “ya tentu saja… congrats ya…” ia ingin aku bahagia, baik, aku akan berbahagia tak perlu kuberitahukan padanya aku mulai hancur. Kehancuran pelan-pelan yang makin menyakitkan daripada aku hancur dalam sedetik.


“Ah siapa yang mengira, akhirnya aku menikah juga ya”


Aku tersenyum juga menangis, aku tak bisa menahannya. Berharap ia tak melihat airmataku, tapi ia melihatnya hanya saja ia melihat air mata kebahagiaan.


“Ampun… jangan nagis dong… dasar, cewek sentimentil! ” Ia tertawa, “bentar lagi kamu pasti nyusul deh, kamu akan segera menemukan pria yang baik juga, kamu kan gadis yang baik, cantik…”


“Ramah tamah serta rajin menabung” kataku melanjutkan ucapannya, kemudian ia terbahak.


“Ah, Maysa… aku bahagia banget! Aku akan menikah!” serunya girang. Dia makin bertambah cantik karena kegairahan itu. Dengan mata yang berbinar dan paras muka yang berseri.


Apalagi saat ini, ketika aku ada di barisan pengiring pengantin wanita, dengan gaun merah muda pilihannya, memandangi gadis tercantik, cintaku berjalan menuju altar dengan pangeran pujaannya. Aku sudah berkeping-keping, tak bisa merasa sakit sekaligus mencinta lagi.
Kutinggalkan kemeriahan pesta pernikahan gadis tercantikku dan kekasih hatinya, tapi dengannya masih tersimpan harapanku. Jadi, aku pun masih menyimpan music itu untuk dia yang tercinta meski tak bisa kucinta.


You give your hand to me
Then you say hello
I can hardly speak
My heart us beating so
And anyone can tell
You think you know me well
But you don’t know me
No, you don’t know the once who dreams of you at night
And longs to kiss your lips
And longs to hold you tight
Oh, I’m just a friend
That’s all I’ve ever been
‘Cause you don’t know me


I never knew
The art of making love
Though my heart aches
with love for you
Afraid and shy
I’ve let my chance to go by
the chance that you might love me too


you give your hand to me
And then you said good-bye
I watch you walk away
Beside a lucky guy


You’ll never know
the one who loves you so


Well, you don’t know me
(You don’t know me - Michael buble version - It’s time)


Ditulis pas lagi di perjalanan Jkt-Bdg hampir 3thn yg lalu, setelah makan siang di Bombay Blue - Cikini (udah tutup juga kali tu restoran) plus keseringan berkhayal sambil dengerin lagunya Michael Buble.

No comments: