Saturday, December 17, 2005

ATAU

Tanggung Jawab atau Egoisme
Dulu sekali, ketika sedang jalan – jalan di mal, ada yang menawariku asuransi. Aku paling benci sama asuransi, meskipun aku tahu itu perlu buat kita. Kubilang saja sama salesnya, bahwa aku sudah punya. Tapi dia memaksa, supaya aku juga membuatkan asuransi untuk keluargaku, lalu kujawab dengan ketus, mereka juga sudah punya asuransi yang kubuatkan. Tanpa disangka, si sales yang keukeuh itu malah bilang gini, wah nggak disangka ya, bahwa mbbak yang begini muda ternyata sudah memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhardap keluarga. Heg... tanpa kuduga, aku malah menjawab sales itu, kukatakan bahwa tindakanku itu bukan didorong oleh rasa tanggung jawab tapi lebih karena aku egois, aku tidak mau disusahkan oleh keluargaku di kemudian hari, jadi di masa sekarang aku mau membuatkan asuransi buat mereka. Ternyata kata-kataku ini berhasil mengagetkan sales itu, karena akhirnya dia berhenti membuntutiku.Tiba – tiba saja, aku mengingat kejadian ini, sekarang aku berpikir -pikir lagi... bahwa sebagai anak tunggal, benarkah ke-egoisanku sedemikian tingginya... dan benarkah semua tindakanku untuk keluargaku sebenarnya didorong oleh rasa egois saja? Ya ampun... kenapa, seketika aku merasa benar – benar egois ya...
Egoisme atau Tanggung Jawab
Ini kejadian yang lain lagi. Ketika mimpi masih berwarna, belum lagi abu – abu. Aku pernahmencintai – ups... benarkah? - seorang pria. Ia pria beristri ayah dari seorang anak laki – laki. Dan tragisnya, laki – laki itu juga mengatakan padaku kalau ia juga merasakan hal yang sama denganku. Kami berbunga – bunga sekaligus hanyut dalam kesedihan. Bahkan, sebuah puisi ironis tentang sepasang kekasih yang saling mencintai dalam kesedihan yang menyenangkan dari Toto Sudarto menjadi bacaan kesayanganku, aku menyalinnya – dengan tulisan yang indah – dan menempelkannya di dinding kamar, di komputer kantor, di tempat2 dimana aku sering menghabiskan waktuku. Ia begitu menguasai mimpiku. Mencintai kamu adalah bahagia dan sedih, bahagia karena kita saling memiliki dan sedih karena kita sering berpisah. Ironis & naif sekali aku sebagai gadis duapuluhan yang jatuh cinta pada seorang suami dan ayah.Namun, kebodohan itu tidak berlanjut lama, karena kami berhasil menyingkirkan perasaan norak ini, dan memutuskan untuk berpisah. Demi tanggung jawab moral yang kami miliki, yaitu aku sebagai wanita dari negeri timur, terlalu angkuh untuk jadi wanita kedua & tidak sanggup menghadapi cercaan masyarakat dan dia sebagai ayah dan seorang suami. Hanya saja, ada yang tidak kuungkapkan padanya ketika kami berpisah. Sebenernya, aku takut, suatu ketika, aku menjadi wanita yang ditinggalkan oleh suami dan ayah anakku demi wanita lain. Aku takut karma. Aku sebenarnya cuma memikirkan diriku sendiri. Jadi...
Tanggung Jawab atau Rasa Bersalah
Bandung, hari – hari ini selalu mendung dan gerimis kecil – kecil. Whoah... kemarin, aku bangun kesiangan, udara dingin sekali dan di luar masih hujan gerimis. Godaan untuk melanjutkan tidur dan tidak masuk ke kantor sangatlah kuat. Namun, ada secuil rasa bersalah yang menelusup masuk ke otakku, aku sudah sering tidak masuk kantor, jadi mau tidak mau aku harus cepat – cepat bangun dan ke kantor.Sepanjang perjalanan ke kantor, aku cuma berpikir betapa hebatnya rasa bersalah ini, hingga seolah – olah sepertinya aku adalah wanita karir yang bertanggung jawab.
Ah... kalau kupikir, berarti selama ini aku tidak pernah bertanggung jawab ya... semua tindakanku berdasarkan ke-egoisan dan sekedar rasa bersalah. Aduh... jadi malu...

No comments: